“Tapi yang bapak (ustad) dong khotbah-khotbah selama ini orang minum sopi tambah banyak atau tambah sedikit. Tambah banya toh? Itu artinya hukum Tuhan itu dia seng (tidak) mempan karena firman hadits ya, termasuk firman-firman di Alkitab itu sudah seng manjur lagi untuk menyadarkan orang tentang barang ini,” — Abdullah Vanath.
Pernyataan tersebut menuai reaksi beragam dan bahkan dilaporkan karena dianggap mengandung unsur SARA. Namun, penting bagi publik untuk menyikapi hal ini secara kritikal dan proporsional, mengingat posisi Wakil Gubernur menyangkut kepentingan publik, bukan dogma keagamaan.
Sopi sebagai Warisan Budaya dan Komoditas Ekonomi
Sopi merupakan minuman tradisional yang telah lama menjadi bagian dari budaya masyarakat di Indonesia Timur, termasuk di Maluku. Di wilayah lain seperti Nusa Tenggara Timur, Bali, dan Sulawesi Utara, minuman khas lokal bahkan telah diberi legalitas melalui peraturan daerah. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan sopi bukan semata urusan moral atau agama, tetapi juga menyangkut aspek budaya, sosial, dan ekonomi.
Wakil Gubernur Maluku mengangkat isu tentang meningkatnya konsumsi sopi meskipun telah ada seruan moral dan keagamaan untuk menjauhinya. Pernyataan tersebut, bila dilihat dalam konteks akademis dan sosial, mencerminkan kegagalan pendekatan moralistik semata dalam mengatasi persoalan konsumsi sopi. Oleh karena itu, ia mengusulkan pendekatan regulatif melalui peraturan daerah (Perda) yang dapat mengatur produksi, distribusi, dan konsumsi sopi secara legal dan terkontrol.
Urgensi Regulasi dan Pendekatan Ekonomi
Murahnya harga sopi saat ini menjadi salah satu faktor utama tingginya angka konsumsi. Jika sopi dilegalkan dan diatur melalui perda, pemerintah dapat:
- Mengontrol kualitas dan distribusinya
- Menentukan harga standar
- Menentukan zona atau tempat yang boleh menjual
- Menarik pajak dan retribusi daerah, yang dapat menambah pendapatan asli daerah (PAD).
Langkah ini bukan untuk mendorong konsumsi, tetapi untuk menata sektor informal yang telah eksis selama puluhan tahun. Dengan legalitas dan pengawasan yang jelas, maka dampak negatif dari sopi dapat diminimalisir, sembari mengangkat nilai ekonominya.
Pentingnya Diskursus Akademis dan Kritis
Sebagai generasi muda Maluku, penting untuk menyikapi pernyataan pemerintah dengan analisis mendalam, bukan sekadar emosional. Pernyataan Wagub, bila ditinjau secara dangkal, memang bisa menyinggung sensitivitas agama. Namun bila ditinjau secara epistemik, ia tengah mengkritik efektivitas pendekatan moral dalam realitas sosial yang kompleks.
Oleh karena itu, rencana untuk melegalkan dan mengatur sopi bukan hanya soal konsumsi, tapi menyangkut soal kedaulatan budaya, ekonomi rakyat, dan ketahanan daerah. Ini adalah bagian dari pembangunan berbasis potensi lokal.
Pernyataan Wakil Gubernur Maluku perlu ditempatkan dalam konteks sosial dan akademis yang lebih luas. Polemik ini seharusnya menjadi pemicu diskusi yang sehat tentang bagaimana pendekatan hukum dan budaya dapat bersinergi dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan di Maluku.
Sebagai pemuda Maluku, mari kita kawal diskursus ini dengan kecermatan, keterbukaan, dan keberpihakan terhadap rakyat, bukan dengan asumsi dan tafsir yang prematur.
Komentar0