GUWlBSd9TpzpGfO5GfCiTUY7GY==

Transhipment: Perampokan Legal atas Laut Maluku

Foto : Risno Ibrahim/Ist
Kontra
narasi.com -
Maluku tak pernah kekurangan ikan. Tapi anak-anak Maluku tetap tumbuh di pesisir dengan perut kosong dan masa depan buram. Ironi ini tak bisa dijelaskan lewat kurva ekonomi atau retorika pembangunan berkelanjutan. Risno Ibrahim, Fungsionaris PB HMI dan aktivis muda asal Maluku menyebut ada yang lebih kejam sedang berlangsung: pembiaran sistematis, dan negara menjadi dalang utamanya. “Transhipment,” kata Risno, “adalah cara paling halus—dan paling brutal—negara mencuci tangannya atas kemiskinan di Maluku.” 

Transhipment, atau alih muatan hasil tangkapan di tengah laut, secara legal difasilitasi melalui Surat Edaran Menteri Kelautan dan Perikanan. Kapal-kapal besar tak perlu lagi bersandar di pelabuhan Maluku. Ikan diangkat, dipindah langsung ke kapal pengangkut, dan dibawa ke luar negeri atau pelabuhan besar di Jawa dan Sulawesi. Tak ada transaksi di darat, tak ada pelelangan, tak ada putaran ekonomi di pesisir. Yang tersisa di Maluku hanya aroma asin laut dan nelayan yang kian kelelahan. 

“Transhipment itu bukan sekadar prosedur teknis. Itu keputusan politik. Negara secara sadar memilih untuk tidak membangun Maluku,” kata Risno, Minggu, 7 Juli 2025. 

Maluku sesungguhnya adalah pusat perikanan nasional. Tiga Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) strategis—WPP 714 (Laut Banda), WPP 715 (Laut Seram dan Teluk Tomini), dan WPP 718 (Laut Arafura dan Timor)—berada di kawasan ini. Potensinya mencapai hampir 30 persen stok ikan nasional. Tapi, seperti kata Risno, “Lautnya diambil, ekonominya tidak dikembalikan. Ini perampokan berjubah regulasi.” 

Pemerintah pusat terus menyanyikan lagu nasionalisme maritim, tetapi tak pernah bersedia membangun fondasi ekonomi laut di timur. Pelabuhan modern tak ada, cold storage nihil, depo BBM untuk nelayan bahkan seperti barang mewah yang hanya ada dalam janji kampanye. “Negara bicara poros maritim dunia, tapi lupa bahwa poros itu berputar di atas penderitaan nelayan Maluku,” Ujar Risno. 

Ia menyebut praktik transhipment sebagai bentuk kolonialisme baru. Dulu VOC datang dengan meriam, kini negara hadir dengan surat edaran. Dulu rempah-rempah dirampas, kini giliran ikan dan ekonomi pesisir yang dijarah dengan restu birokrasi. “Hasil laut Maluku disedot habis, tapi tak ada efek berganda. Zero multiplier effect. Yang tumbuh hanya korporasi perikanan besar, dan elite-elite di Jakarta yang entah tahu Maluku itu di peta sebelah mana.” 

Lebih parah, nelayan-nelayan kecil di pesisir Ambon, Seram, Aru, dan Tual, harus membeli BBM dengan harga dua hingga tiga kali lipat karena tidak ada depo BBM nelayan. Mereka terpaksa membeli eceran, kadang dari tangan kedua dan ketiga. “Ini gila. Di tengah lautan kekayaan, rakyat Maluku seperti anak tiri yang hanya kebagian ampas,” Tegas Risno. 

Ia mendesak agar praktik transhipment dihentikan segera, dan diganti dengan regulasi yang mewajibkan seluruh kapal perikanan yang menangkap di wilayah Maluku untuk mendaratkan hasilnya di pelabuhan lokal. Negara, menurut Risno, wajib membangun infrastruktur lengkap: pelabuhan, TPI modern, cold storage, sentra pengolahan ikan, hingga koperasi pembiayaan nelayan.

 “Kita tidak minta-minta. Kita menuntut hak. Maluku berhak atas keadilan ekonomi. Bangun pelabuhan, siapkan infrastruktur, hentikan transhipment. Itu perintah konstitusi, bukan permohonan belas kasihan,” Tuturnya. 

Di akhir keterangannya, Risno menantang pemerintah pusat menjawab satu pertanyaan: “Laut Maluku ini untuk siapa? Untuk rakyat, atau hanya untuk kapal-kapal besar dan investor?” 

Rakyat Maluku, katanya, sudah terlalu lama sabar. Tapi kesabaran itu kini berubah menjadi tuntutan. Sebuah tuntutan atas hak dasar yang terlalu lama diabaikan negara yang terus bicara keadilan, namun diam saat Maluku dikosongkan secara sistematis.

Komentar0

Type above and press Enter to search.