GUWlBSd9TpzpGfO5GfCiTUY7GY==

Diduga Libatkan Elit Polda Maluku dan Pitoyo Suwanto Soal Penyelundupan Sianida di Pulau Buru

Foto : Risno Ibrahim, Bendahara Umum Bidang Lingkungan Hidup PB HMI
Kontra
narasi.com -
Pulau Buru kembali menjadi sorotan nasional. Bukan karena prestasi atau pembangunan, melainkan karena bayang-bayang gelap tambang emas ilegal di Derlale yang terus merusak bentang alam dan merampas masa depan ekologi kawasan tersebut. Yang lebih mengejutkan, mencuatnya nama Pitoyo Suwanto sebagai tokoh sentral dalam distribusi bahan kimia berbahaya sianida menjadi alarm keras bagi publik.

Sekitar 350 kaleng sianida dikabarkan telah diselundupkan dari Surabaya menuju Pulau Buru, melewati Pelabuhan Ambon dan Namlea. Fakta bahwa bahan kimia berbahaya ini bisa bergerak sejauh itu tanpa hambatan mencerminkan suatu mekanisme distribusi yang bukan hanya sistematis, tapi juga “dijamin” oleh kekuatan yang punya akses atas aparat dan logistik negara.

Dalam konteks regulasi nasional, pengangkutan sianida tidak bisa dilakukan secara bebas. Ia tergolong B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) yang pengadaannya, pengangkutannya, hingga penggunaannya harus melewati izin ketat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta pengawasan dari kepolisian, bea cukai, dan instansi pelabuhan. Jadi secara logika, tidak mungkin 350 kaleng sianida bisa bergerak dari Surabaya hingga ke Pulau Buru tanpa “pengawalan struktural”.

Pertanyaannya bukan lagi apakah ada yang tahu, tapi siapa saja yang membiarkan—atau bahkan menjamin kelancaran jalur ilegal ini. Kita bicara tentang pelabuhan utama, hingga titik-titik distribusi darat di Ambon dan Namlea. Setiap simpul ini memiliki sistem kontrol. Lalu, bagaimana bahan kimia berbahaya itu bisa melenggang mulus?

Jawabannya hanya satu: ada dugaan persekutuan senyap antara pelaku usaha tambang ilegal dan oknum kekuasaan—terutama dalam institusi keamanan di Maluku. Tanpa “restu” atau keterlibatan mereka, mustahil jalur distribusi sepanjang ini tidak tersendat sedikit pun.

Bagi Risno Ibrahim, Bendahara Umum Bidang Lingkungan Hidup PB HMI, semua ini bukan soal kelengahan, melainkan soal keberpihakan kekuasaan. Jika kekuasaan diam, atau bahkan memfasilitasi distribusi bahan berbahaya ini, maka negara telah absen dari fungsinya sebagai pelindung rakyat dan alamnya.

“Distribusi bahan berbahaya dalam jumlah besar tidak mungkin terjadi tanpa sepengetahuan pihak-pihak tertentu. Ini bukan sekadar kelalaian. Ini bentuk pengkhianatan terhadap tanggung jawab negara menjaga rakyat dan lingkungannya,” tegas Risno, Jumat (18/7/2025).

Ia menekankan bahwa penggunaan sianida dalam tambang ilegal berdampak langsung terhadap pencemaran air tanah, kerusakan vegetasi, dan meningkatnya risiko penyakit kronis bagi warga sekitar.

“Yang terjadi di Pulau Buru bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi bentuk eksploitasi rakus yang difasilitasi diam-diam oleh sebagian orang berseragam. Oknum elit di tubuh Polda Maluku diduga punya andil dalam menjamin keamanan distribusi ini—bukan membongkarnya,” tambahnya.

PB HMI melalui Bidang Lingkungan Hidup menuntut Menteri ESDM dan Kapolri untuk bertindak tegas dan membuka investigasi publik. Bagi mereka, keheningan negara sama artinya dengan persetujuan.

“Jika tidak ada tindakan dalam waktu dekat, PB HMI akan memimpin aksi nasional. Ini bukan gertakan, ini tanggung jawab moral. Kami menolak tunduk pada negara yang dikendalikan oleh kekuatan gelap tambang,” tegas Risno.

Ia menutup pernyataannya dengan pesan yang tajam: Pulau Buru bukan wilayah tak bertuan. Jika negara memilih diam, maka suara rakyat akan menggema lebih keras. Karena ketika hukum dikooptasi oleh elit yang punya kepentingan, maka satu-satunya jalan keluar adalah perlawanan sipil yang konsisten dan tak kenal takut.

Komentar0

Type above and press Enter to search.