Kontranarasi.com – Penguatan ketahanan pangan nasional menjadi isu strategis di tengah ancaman krisis pangan global dan perubahan iklim. Ketergantungan Indonesia terhadap beras dan gandum impor dinilai berisiko bagi kedaulatan pangan nasional. Menyikapi hal tersebut, Perhimpunan Pelajar Seram Bagian Timur (PP SBT) Jabodetabek mendorong sagu untuk dijadikan sebagai salah satu bahan pangan strategis nasional.
Ketua PP SBT, Zainal Irfandi Fesanlau, menegaskan bahwa sagu memiliki potensi besar sebagai sumber pangan alternatif yang selama ini belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah pusat. Menurutnya, sagu merupakan pangan asli Nusantara yang telah terbukti mampu menopang kehidupan masyarakat di wilayah timur Indonesia selama ratusan tahun.
“Sagu bukan sekadar pangan lokal, tetapi warisan pangan bangsa. Jika negara serius mendorong diversifikasi pangan, maka sagu harus ditempatkan sebagai bagian dari kebijakan pangan nasional,” ujar,”Irfandi dalam keterangannya, Selasa (17/12/2025).
Secara data, Indonesia merupakan salah satu negara dengan luasan hutan sagu terbesar di dunia. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, luas potensi lahan sagu di Indonesia mencapai lebih dari 5 juta hektare, dengan sebagian besar berada di Papua, Maluku, dan Sulawesi. Namun dari luasan tersebut, pemanfaatan sagu sebagai bahan pangan nasional dinilai masih sangat minim.
Irfandi juga menambahkan, tanaman sagu memiliki keunggulan ekologis karena mampu tumbuh di lahan marginal dan rawa tanpa membutuhkan pupuk kimia. Selain itu, sagu juga dinilai lebih adaptif terhadap perubahan iklim dibandingkan tanaman pangan lain.
“Di saat perubahan iklim mengancam produksi beras, sagu justru tetap tumbuh secara alami. Ini adalah kekuatan yang seharusnya dilihat sebagai solusi jangka panjang ketahanan pangan nasional,” tegasnya.
PP SBT juga menyoroti aspek ekonomi dari pengembangan sagu. Menurut organisasi tersebut, penguatan industri hilir sagu dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, menciptakan lapangan kerja, serta meningkatkan kesejahteraan petani dan pelaku UMKM di daerah penghasil sagu, khususnya di Seram Bagian Timur.
Sementara itu, pengamat pertanian dan pangan lokal, Dr. Ahmad Sulaiman, menilai bahwa diversifikasi pangan berbasis sagu sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Ia menyebutkan bahwa ketergantungan terhadap satu komoditas pangan utama berisiko tinggi terhadap stabilitas pangan nasional.
“Diversifikasi pangan bukan sekadar pilihan, tetapi keharusan. Sagu memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi dan dapat diolah menjadi berbagai produk, mulai dari tepung, mie, hingga pangan olahan modern,” jelas Ahmad Sulaiman.
PP SBT mendorong pemerintah agar segera mengambil langkah konkret, mulai dari penyusunan regulasi khusus sagu, peningkatan riset dan inovasi, hingga memasukkan produk berbasis sagu ke dalam program pangan nasional seperti bantuan pangan dan konsumsi institusi negara.
Menurut PP SBT, jika sagu dikelola secara terintegrasi dari hulu ke hilir, maka komoditas ini tidak hanya memperkuat ketahanan pangan nasional, tetapi juga menjadi fondasi ekonomi baru bagi masyarakat di wilayah timur Indonesia.
“Sagu harus naik kelas, dari pangan lokal menjadi pangan nasional. Ini bukan hanya soal pangan, tetapi juga keadilan pembangunan bagi daerah penghasil sagu,” pungkas Zainal Irfandi.









