Regulasi Desa Yang Ketinggalan Zaman

banner 468x60

Penulis 

Rikman Sanmas 

Konranarasi.com – Desa merupakan ujung tombak pembangunan nasional dan menjadi representasi nyata dari implementasi otonomi daerah. Dalam kerangka hukum Indonesia, desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya melalui Peraturan Desa (Perdes) yang disusun berdasarkan kebutuhan dan potensi lokal. Namun, dalam praktiknya, banyak peraturan desa yang dirangcang, kini tidak lagi relevan dengan kondisi sosial, ekonomi, dan teknologi masyarakat desa yang terus berkembang.

Fenomena ini tampak jelas di berbagai wilayah di Maluku, termasuk di Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual, di mana sejumlah Perda Ohoi (Peraturan Desa Berbasis Adat Kei) masih berlandaskan pada pola pikir dan struktur pemerintahan lama. Peraturan-peraturan tersebut sering kali bersifat administratif dan cenderung kaku, tanpa mempertimbangkan perubahan zaman seperti munculnya ekonomi digital, tuntutan transparansi publik, serta kebutuhan pembangunan berkelanjutan yang partisipatif. Akibatnya, pembangunan desa berjalan lambat, inovasi terhambat, dan potensi lokal tidak tergarap optimal.

Selain itu, perubahan sosial yang pesat seperti meningkatnya tingkat pendidikan, arus informasi global, dan mobilitas ekonomi menuntut regulasi yang adaptif. Ketika regulasi tidak mampu menyesuaikan diri, maka desa kehilangan arah dan daya saing. Peraturan yang ketinggalan zaman juga berpotensi menimbulkan konflik antara norma hukum formal dengan kebutuhan masyarakat modern yang dinamis. Dalam konteks ini, regulasi desa tidak hanya menjadi simbol hukum, tetapi juga penentu keberhasilan pembangunan. Karena itu, evaluasi dan reformasi regulasi desa menjadi langkah penting agar hukum lokal mampu menjawab tantangan dimasa depan. Regulasi yang dirancang harus sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat dan terus menyesuaikannya dengan zaman yang semakin modern, dan untuk menjawab tantangan tantangan tersebut, maka tiga aspek utama berikut sebagai kunci implementasi kebijakan.

Kesenjangan antara Regulasi dan Dinamika Sosial

Secara teoretis, hukum bersifat dinamis, ia harus mengikuti perubahan masyarakat yang diaturnya. Namun, pada tingkat desa, hukum sering kali bersifat statis. Banyak peraturan desa (Perdes) yang disusun tanpa mekanisme pembaruan berkala, sehingga tidak menyesuaikan diri dengan perkembangan sosial dan ekonomi. Misalnya, peraturan mengenai tata kelola keuangan desa masih berbasis sistem manual dan tidak mengakomodasi teknologi digital dalam pengawasan anggaran. Akibatnya, transparansi dan akuntabilitas menjadi lemah, sementara potensi korupsi dan penyalahgunaan kewenangan semakin meningkat.

Kesenjangan ini menunjukkan bahwa regulasi tidak hanya ketinggalan dari sisi substansi, tetapi juga dari sisi pendekatan dan mekanisme pelaksanaannya. Padahal, masyarakat desa kini semakin terdidik dan memiliki aspirasi yang lebih tinggi terhadap keterbukaan informasi dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Hukum yang tidak menyesuaikan diri dengan kebutuhan tersebut pada akhirnya kehilangan legitimasi sosialnya.

Dampak Regulasi yang Tidak Relevan terhadap Pembangunan Desa

Regulasi yang tidak relevan menimbulkan dampak struktural terhadap pembangunan desa.

Pertama, banyak kebijakan pembangunan yang tidak dapat diimplementasikan karena bertentangan dengan peraturan dan kondisi wilayah di pedesaan.

Kedua, aparat desa kesulitan menafsirkan aturan yang sudah usang, sehingga menimbulkan kebingungan administratif.

Ketiga, partisipasi masyarakat menjadi rendah karena merasa tidak dilibatkan dalam proses pembaruan kebijakan yang menyentuh kehidupan mereka secara langsung.

Dampak lainnya adalah menurunnya efektivitas program pembangunan nasional di tingkat desa. Misalnya, program ketahanan pangan, penguatan ekonomi lokal, hingga transformasi digital desa sering kali tidak maksimal karena tidak memiliki dasar hukum yang memadai di tingkat lokal. Akibatnya, desa tidak mampu bergerak cepat dalam menghadapi perubahan global, sementara birokrasi tetap berjalan dengan ritme lama yang lambat dan tidak efisien.

Reformasi regulasi desa merupakan langkah strategis untuk memastikan bahwa hukum lokal mampu menjadi instrumen perubahan sosial yang progresif. Pembaruan regulasi harus dilakukan melalui pendekatan partisipatif, dengan melibatkan masyarakat desa, tokoh adat, akademisi, serta lembaga pemerintah daerah. Pendekatan ini memastikan bahwa setiap revisi peraturan tidak hanya memenuhi aspek formal hukum, tetapi juga mencerminkan kebutuhan dan aspirasi warga.

DPRD Kabupaten Maluku Tenggara dan DPRD Kota Tual, sebagai Lembaga Legislatif Daerah, memiliki peran penting dalam mengawasi dan mengevaluasi setiap peraturan desa agar tetap selaras dengan arah pembangunan nasional. Selain itu, pemerintah daerah di kedua wilayah ini perlu menyediakan pendampingan hukum dan pelatihan teknis bagi aparatur desa agar mereka mampu beradaptasi dan menyesuaikan dengan regulasi yang adaptif, transparan, dan berbasis data.

Dalam konteks ini, pembaruan regulasi desa juga dapat dipandang sebagai bagian dari modernisasi hukum daerah. Modernisasi ini menuntut sinkronisasi antara hukum adat, peraturan lokal, dan kebijakan nasional, tanpa menghilangkan identitas budaya desa. Dengan demikian, reformasi regulasi bukanlah bentuk penghapusan tradisi, tetapi penyesuaian nilai-nilai lokal dengan kebutuhan zaman modern yang menuntut efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas.

Regulasi desa merupakan fondasi hukum yang menentukan arah, karakter, dan keberhasilan pembangunan di tingkat lokal. Namun, ketika peraturan yang berlaku tidak lagi sesuai dengan dinamika sosial dan kebutuhan masyarakat, maka desa akan terjebak dalam ruang kebijakan. Kondisi inilah yang saat ini banyak dialami oleh berbagai desa di Indonesia, termasuk sejumlah Ohoi di Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual. Peraturan desa yang ketinggalan zaman mencerminkan lemahnya proses pembaruan hukum, minimnya adaptasi terhadap perubahan, dan kurangnya partisipasi masyarakat dalam penyusunan regulasi.

Keterlambatan reformasi regulasi berdampak luas sehingga pembangunan menjadi tidak efektif, pengelolaan keuangan desa tidak transparan, dan partisipasi warga melemah. Lebih jauh, regulasi yang usang dapat menimbulkan ketegangan antara norma adat dan kebutuhan modernisasi pemerintahan. Akibatnya, hukum yang seharusnya menjadi alat untuk menata kehidupan sosial justru menjadi hambatan bagi kemajuan. Oleh sebab itu, evaluasi menyeluruh terhadap regulasi desa bukan hanya kebutuhan teknis, tetapi sebuah urgensi strategis untuk memastikan bahwa setiap kebijakan desa sejalan dengan reformasi dan semangat otonomi daerah, pemerintahan yang bersih, dan pembangunan yang berkelanjutan.

Desa memiliki potensi besar untuk menjadi pusat inovasi sosial dan ekonomi, namun potensi itu hanya dapat diwujudkan bila regulasinya adaptif terhadap perkembangan zaman. Dengan memperbarui peraturan yang tidak relevan, desa dapat membangun sistem pemerintahan yang lebih terbuka, efisien, dan berpihak kepada masyarakat. Reformasi regulasi menjadi jembatan penting untuk menghubungkan nilai-nilai tradisional yang luhur dengan tuntutan modernitas yang rasional dan produktif.

Merujuk pada artikel tersebut, saya menginterpretasikan tulisan ini kedalam empat bagian penting sebagai rekomendasi kebijakan dan bahan evaluasi pemerintah daerah bersama DPRD Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual.

1. Peningkatan Kapasitas Aparatur Desa.

Aparatur desa perlu dibekali pelatihan teknis tentang penyusunan regulasi modern, manajemen pemerintahan, dan prinsip transparansi publik. Dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia, desa dapat lebih mandiri dalam merancang kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

2. Penerapan Pendekatan Partisipatif dalam Pembentukan Regulasi.

Setiap proses perumusan dan revisi Peraturan Desa harus melibatkan unsur masyarakat, termasuk tokoh adat, pemuda, dan perempuan. Pendekatan partisipatif memastikan regulasi yang dihasilkan memiliki legitimasi sosial dan benar-benar mencerminkan aspirasi masyarakat.

3. Sinkronisasi Hukum adat dengan Kebijakan Nasional.

Pembaruan regulasi desa harus mempertimbangkan harmonisasi antara hukum adat, hukum nasional, dan kebijakan pembangunan daerah. Dengan demikian, nilai-nilai budaya tetap terpelihara tanpa menghambat penerapan prinsip-prinsip modern tata kelola pemerintahan.

4. Digitalisasi dan Keterbukaan Informasi Regulasi Desa.

Pemerintah daerah dapat membangun database digital berisi seluruh regulasi desa yang berlaku, lengkap dengan status revisi dan catatan evaluasi. Sistem ini akan memperkuat akuntabilitas, memudahkan akses publik, serta meningkatkan pengawasan terhadap implementasi peraturan di lingkungan masyarakat

 

banner 300x250
banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *